Bekerja di pendidikan mengajak kakiku melangkah ringan menuju tanah yang tak pernah sempat hadir di khayalan sedetikpun. Tanah Nusa Tengggara Timur hadir berkenalan denganku pertama kali bersamaan dengan program sarjana mendidik di daerah 3T.
Flores mendengarnya membuat bayangan melayang pada daerah tandus, kekerasan, mayoritas non-muslim yang fanatik, dan panas. Meninggalkan Makassar dengan segala kemudahan, meninggalkan zona nyaman dan keluarga yang selalu merindu menuju tanah abdi dengan segala bayangan akan zona tidak nyaman, benar-benar tantangan pergolakan batin yang pertama kali mesti dan harus dimatikan sebelum berangkat, nyali sempat menciut dan kemudian bangkit bersama dengan petuah ayah “Tak akan pernah diketahui medan perang sebelum kita pergi berperang,” petuah itu hadir saat aku meminta restu dan pertimbangan tentang niat ikut andil dalam perpanjangan tangan pemerintah untuk memeratakan pendidikan hingga ke pelosok negeri. Petuah itu membesarkan hatiku mengikuti program SM-3T menikmati pelosok yang masih Indonesia juga.
Pertama kali memijak di Flores bayangan hitam tentang flores lenyap seketika, sambutan hangat pegawai bandara, staf dinas pendidikan Manggarai Timur, keluarga kepala sekolah, warga, bocah pesisir, dan alam flores yang menunggu kedatangan guru SM-3T memanjakan perasaan yang sempat tertutup kabut perkiraan beraneka kesengsaraan.
Tanah abdi yang termaktup pada SK dinas pendidikan Manggarai Timur dengan medan terjal dan jalan rusak melewati tebing batu, rawan longsor, menuju daerah pesisir. Daerah pesisir dengan warga yang sangat sosialis, pertama bersua dengan warga saat hari kedua di lokasi adalah pada sebuah acara kematian salah seorang warga kampung yang langsung menyambut kami dengan putar kopi dan makan siang bersama warga kampung. Kesan yang menggugah berkat penghargaan luar biasa pada warga Muslim yang minoritas di tengah mayoritas Katolik. Keluarga Katolik yang berduka menyediakan makanan halal yang diolah sendiri oleh warga muslim dan dipisahkan dengan makanan pemeluk agama Katolik. Senyum warga dan keakraban yang disajikan menjadi surga di pelosok. Di sini pula pertama kali aku melihat kebiasaan makan banyak orang Manggarai, tidak ada diet di kamus mereka.
Mengawali tugas sebagai pekerja pendidikan dengan bersosialisasi pada warga melalui kegiatan berpesiar (jalan-jalan) ke rumah-rumah warga untuk mendekatkan dan menjadikan diri bagian dari warga Nanga Baras, Kecamatan Sambi Rampas, Nusa Tenggara Timur membuat kami “Enam Anak Daeng” mengenal budaya PUTAR KOPI, rumah-rumah yang dikunjungi selalu menyediakan kopi hitam yang mereka sebut putar kopi. “Jangan pulang dulu, mamah sedang putar kopi di belakang” kata Bapak yang menerima kami di ruang tamu tempat sangat sederhana di tengah kemewahan keramahan yang beliau sajikan. Putar kopi, kata yang awalnya aneh menurut kami dan lama-kelamaan telinga terbiasa mendengarnya, bibir terbiasa mengucapkan dan lidah terbiasa mencicipi.
Lokasi pesisir yang menakjubkan selalu menjadi obat anti rindu akan kota beton Makassar, jiwa sosialis dan kekeluargaan warga yang selalu dengan sukarela membawa beraneka sayur, ikan, bahkan beras ke pondok paradiso bersama (surga bersama) “Enam Anak Daeng” meneduhkan hati dan mengajarkan bagaimana seharusnya berbagi meski di tengah himpitan kehidupan sangat sederhana dengan segala keterbatasan utamanya ekonomi. Semangat anak-anak pesisir ke sekolah meski harus berjalan kaki tanpa sandal apalagi sepatu, celana dan rok yang tak te-resleting termakan usia, baju putih yang sudah menguning bahkan cokelat ditambah tambalan-tambalan, tas dari kantong plastik ole-ole ibu mereka yang pulang dari pasar memadamkan api kerinduan dan kejenuhan hidup terbatas di pelosok.
Menjadi pekerja pendidikan di pesisir memperlihatkan bagaimana guru di sana mendidik dengan keras, metode yang katanya harus berbeda dengan anak-anak di perkotaan karena latar belakang anak-anak yang sudah terbiasa dididik keras di keluarga bahkan sejak sebelum dilahirkan. Melihat hal demikian, pantas saja antara guru dan siswa ada jarak sangat jauh tak terjangkau, representasi dari kekakuan hubungan mereka. Kehadiran pekerja pendidikan guru SM-3T mendekap mereka dengan senyum membawa angin baru bagi bocah-bocah pesisir tersebut, sangat jelas terlihat dari senyum di mata mereka yang bening terpatri membentuk lekuk bibir yang menawan, kedekatan dan antusias mereka ketika diajak ke “Pondok Paradiso” untuk les malam atau hanya sekadar bercengkerama menjadi bukti kerinduan mereka akan dekap persahabatan dari guru yang ternyata menjadi guru banyak dicita-citakan oleh bocah pesisir tersebut. Membenamkan hari-hari di daerah 3T tepatnya di desa Nanga Baras dan terlibat dalam berbagai kegiatan sekolah dan masyarakat menjadikan waktu tak terasa berputar. Kesibukan menyiapkan perangkat pembelajaran, persiapan UN dengan les tambahan sore dan malam, berpartisipasi di kegiatan maulid nabi, MTQ se-kecamatan dan berbagai kegiatan keagamaan, kepramukaan serta kemasyarakatan lain seperti kegiatan olahraga di sore hari adalah hal yang meninggalkan jejak kesan mendalam, kepercayaan dan penganggapan warga dengan guru SM-3T yang serba bisa mengawal kami untuk mengasah potensi dalam diri yang selama ini beku karena kemalasan.
Kehadiran momen Maulid menjadi suasana pas untuk memanfaatkan bakat terpendam siswa untuk tampil di muka umum memamerkan kemampuan mereka dalam membaca puisi dan menyanyi lagu-lagu islami (Qasidah) yang selama ini bukannya tidak diketahui guru melainkan tidak pernah diasah dan dimanfaatkan. Bersama kami, warga memercayakan adanya perayaan maulid nabi yang lebih meriah dari sebelumnya, kepercayaan yang menjadi tantangan sekaligus obat jenuh. Untuk mengobati kerinduan warga akan perayaan meriah, dalam kesederhanaan kami mengajak lewat sedikit paksaan dan mengeksploitasi kekayaan bakat dan semangat keingintahuan bocah-bocah pesisir. Perayaan maulid diisi dengan pembacaan puisi dan qasidah yang diakhiri dengan keceriaan warga setelah melihat pertunjukan dan keluguan anak-anak mereka tampil di muka umum, bukan kesempurnaan pementasan yang menjadi tolok ukur melainkan keceriaan sebagai efek kebersamaan.
Berawal dari kesuksesan pelaksanaan maulid versi pesisir berbuah semangat tampil dan unjuk kebolehan bocah-bocah pesisir berkompetisi menetas setelah mengeram terlalu lama. Pelaksanaan lomba MTQ se-kecamatan langsung disambar dengan keinginan bocah-bocah itu mengikuti lomba tersebut, pengalaman pertama mengikuti perlombaan. Semangat itu nampak dari persiapan mereka dengan rajin berlatih mengaji di pondok paradiso bersama kami, malam selepas magrib mereka datang mengharap arahan dari kami, berlatih dan menghabiskan malam di pondok paradiso bersama menambah kedekatan kami, mereka bukan lagi hanya sekadar murid melainkan sudah menjadi bagian dari pondok paradiso bersama kami. Hasil memang selalu berbanding lurus dengan proses menjemputnya, dua dari lima utusan dari desa kami menyabet juara meski pengalaman pertama ikut berkompetisi walau hasil bukan menjadi tujuan utama.
Hidup di pesisir yang kata mereka udik (kampungan/tertinggal) tidak pernah hadir menjadi alasan untuk lari dari tempat itu, bersama mereka banyak kebiasaan yang sebelumnya tak kami kenali sudah menjadi rutinitas. Limbahan kasih dari warga meski berbeda kepercayaan menjadi candu, saat salah satu dari kami “Enam Anak Daeng” sakit akan menjadi berita se-dusun, mereka berduyun-duyun mengkhawatirkan meski dengan hanya sekadar bertanya keadaan dan berbagi resep obat, sungguh suguhan yang sangat membuat ketagihan. Kekhawatiran mereka terjabarkan tepat ketika si Kalajengking berhasil memperdayai kekuatan bertahanku tanpa airmata di suatu siang di Pondok Paradiso Bersama, Bapak Rose salah satu orang tua kami langsung memberikan cincin keramat yang dipercayainya bisa memberi kekuatan sugesti pada sakit di jari manisku akibat sentuhan perkenalan si Kalajengking. Cincin sugesti tentu bukan sesuatu yang harus pula turut aku percayai, akan tetapi kekuatan cinta dan kekwatiran di dalam cincin itu memaksaku memakainya dengan tanpa basa-basi. Pertanyaan akan persediaan beras dan makanan kami selalu bersenandung ringan di telinga, inilah keluarga meski tak se-rahim. Beras _Bramo_ (salah satu jenis beras yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat desa Baras dan Manggarai Timur) pemberian keluarga kepala sekolah pak Amrosius , warga, dan keluarga peserta didik menjadi santapan pemberi energi bagi keluarga tak se-rahim kami sekaligus pemberi semangat bahwa kami telah me_wakaf_kan diri bagi keluarga baru di Pesisir Utara Flores.
Jenuh pasti ada, namun cara menyikapinya sudah kami temukan. Sapaan dan senyum bocah pesisir dan wargalah obat terampuh. Pagi berganti malam bukan lagi hitungan lama.
Minggu pertama menjadi keluarga tak se-rahim membuat kami berkutat mencari penamaan apa yang tepat menggambarkan kisah tak berjudul ini. Tak perlu aqiqah menyembelih kambing seperti pada kepercayaan umat Muslim sebab kisah ini jelas tak berjenis kelamin. Entah ditularkan siapa? Tiba-tiba telinga ini akrab pada nama “Enam Anak Daeng di Pondok Paradiso”. Tidak ada alasan apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana penyebutan “Enam Anak Daeng” hadir di tengah sepi pesisir yang riuh oleh gelombang. Semua hadir di_skenario_kan Tuhan Yang Kuasa untuk kami bersama melumat tantangan di 3T, hingga badai rindu apalagi kekagetan gaya hidup di pesisir tidak menggoyahkan semangat abdi. Hati dan kekuatan ini datangnya dari alam, lalu menyatu dalam cita, cita yang datangnya pun sangat alami dan sederhana, se-sederhana hati dan impian ini, Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
Tidak ada beda dengan sebuah keluarga yang harus hidup bersama dengan hati dan kepala berbeda, “Banyak kepala, banyak karakter” kata orang. Sehingga kekonyolan dan pertengkaran turut men_sejarah_kan diri pada proses bersama kami. Perbedaan pemikiran yang turut diwariskan oleh budaya daerah dan keluarga salah satu alasan yang acap menimbulkan pertengkaran dan kekonyolan itu, Fitriani_Abhon dari Maros, Miyya dari Sidrap, Ani dari Enrekang, Fendy dari Soppeng, Akbar dari Takalar, dan Ramli dari Luwu. Kekonyolan perbedaan dan pertengkaran itu pulalah yang mempererat genggaman kami untuk saling mengisi sela jari, saling menguatkan.
“Enam Anak Daeng” dipertemukan dan dipersatukan menjadi keluarga oleh Tuhan berkat kesamaan niat dan cita menjadi pekerja pendidikan di bumi yang masih Indonesia juga. Mengabdi dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kekayaan pengalaman untuk dibawa pulang sebagai ole-ole pada ayah-bunda masing-masing yang merindu. Sebuah cita sederhana dari anak-anak muda yang haus abdi dan pengalaman. Tinggal bersama pada sebuah rumah jabatan kepala desa yang sebelumnya merupakan gudang penyimpan pupuk kelompok tani di desa tersebut yang kemudian kami namai “pondok paradiso bersama”. Kehadiran “Enam Anak Daeng” ini mampu membuat “pondok paradiso bersama” bertahan, semakin elok, dan layak huni. Layak dalam kesederhanaan.
Tali hati telah mengikat kami hingga akhir Oktober 2012 menjadi bendungan airmata sebagai jawaban yang tak terbendung me_makam_kan kebersamaan di pondok paradiso bersama bumi Flores.
“Enam Anak Daeng” tentu tak akan punah dan pudar oleh jarak. Karya dan kesamaan cita akan menyatukan, karena utang pada bangsa turut andil dan mendedikasikan diri mencerdaskan bangsa meski tak ada jawaban jelas akan takdir kemana dan dimana nantinya utang abdi itu meski dialokasikan.
Salam. _Rustan Effendi _ Hasmiah Hanafi _ Syamriani_ Fitriani _ Ramli_ Akbar Mustapa_