Perkenalkan nama saya Rina Astuti, lulusan dari Jurusan Pendidikan Biologi (UAD). Saya alumni dari SM-3T angkatan III yang baru saja bulan September tahun 2014 lalu telah menyelesaikan tugas pengabdian di daerah 3T. Daerah penempatan saya di Kabupaten Ngada – NTT, tepatnya di SMKN Bajawa Utara, Kampung Perawea, Desa Genamere.
Woooouuuwww lapangan miring…… suatu pemandangan yang cukup mengejutkan untukku. Ya, lapangan bola yang terletak antara gedung SD Perawea dan SMKN Bajawa Utara itu memang miring bukan hanya karena pandanganku yang kabur setelah perjalanan antar pulau Jawa-Flores. Aku membayangkan bola akan menggelinding dengan sendirinya meski tidak ada yang menendang, macam di film horor saja.
Mbheeeek….., mbheeeek………., mowwww….., sepi, hanya suara hewan-hewan itu yang lebih dominan di kala pertama kali aku datang di SMKN Bajawa Utara sore itu 18 September 2013. Di sekolah ini tidaklah mengherankan ada berbagai macam hewan, karena ini SMK Peternakan. Kedekatan pada alam sangat terasa, udara segar mengisi setiap gelembung alveolus di paru-paru setiap hari. Begitu banyak cerita yang terukir selama satu tahun lalu di tempat tenang yang teletak di antara dua bukit itu.
Perawea, sebuah kampung di Desa Genamere Kecamatan Bajawa Utara Kabuaten Ngada NTT. Mengawali kehidupan satu tahunku di tempat itu dengan segala perbedaan dari tempat kelahiranku di Jogja. Tepat tinggal di asrama sekolah dan keterjangkauan kendaraan ke tempat ini adalah keberuntungan untukku. Tetapi, gelap tanpa listrik, air kadang harus ambil dari jarak 500 meter atau di kali belakang asrama, sinyal bisa menghilang hampir satu minggu adalah beberapa tantangan lingkungan yang harus aku hadapi. Pemandangan alam yang tak biasa, sebelah Utara pegunungan di atas Malafai dan Selatan Gunung Inegena yang menjulang tinggi.
Awal masuk sekolah perkenalan dengan guru-guru yang sangat bersahabat, masyarakat yang bersahabat membuat aku cepat beradaptasi dengan tempat baru itu. Perkenalan dengan siswa-siswi di kelas pun menyenangkan, setelah memperkenalkan nama, asal, jurusan, pasti ada satu pertanyaan dari mereka yaitu “status” aku tidak mengerti apa motif mereka menanyakan itu, tapi bukan masalah besar bagiku untuk menjawabnya. Kesan awal, menurutku mereka hebat dilihat dari semangat dan perjuangan mereka untuk mengenyam pendidikan. Ada dari mereka yang harus berjalan kaki beberapa kilometer setiap berangkat dan pulang sekolah.
Kekerasan masih mewarnai pendidikan di daerah timur itu, hampir setiap hari anak-anak mendapat sabetan bilah bambu, kayu gamal, maupun tangan kosong ketika mereka terlambat, tidak mengerjakan tugas maupun melakukan kesalahan yang lain. Para guru beranggapan bahwa mendidik murid disana tidak bisa jika tanpa kekerasan. Tetapi dalam hati aku masih percaya sebenarnya anak-anak masih bisa dididik tanpa kekerasan, karena bagaianapun mereka adalah tunas-tunas bangsa yang masih mempunyai perasaan dan bisa merasakan sakit.
Suatu hari aku meminjam sebuah buku yang berjudul “ Panggil Aku Ayah”. Buku itu menceritakan keberhasilan pengarang dalam menerapkan pendidikan yang humanis tanpa kekerasan. Setelah selesai membaca, aku meminjamkan buku tersebut kepada salah seorang “anak tanah” yang menjadi guru di SMK tempat saya betugas. Beliau baru beberapa bulan mengajar tetapi sangat ditakuti oleh para siswa karena sering memukul. Setelah beberapa hari membawa buku itu kemudian mengembalikannya seraya berkata “pembelajaran seperti itu tidak cocok Ibu untuk anak-anak disini, mereka tidak akan ikut apa yang kita omong kalau tidak pake apis (dipukul)”. Begitulah kira-kira yang aku ingat, dan ketika itu aku hanya bisa diam tetap dengan keyakinan ku bahwa mereka bukan batu.
Waktu pun berlalu, guru itu pergi kuliah akta di Bali hingga beliau kembali ketika masuk tahun ajaran baru 2014/2015. Dihari pertama aku bertemu dengan beliau dan mengakui kebenaran yang tertulis dalam buku itu “ternyata benar ya Ibu, cara mengajar yang benar itu seperti di buku yang Ibu pinjamkan dulu yang judulnya…… “(beliau lupa), aku pun menyahut “Panggil Aku Ayah”. Ada perasaan lega dan bahagia dalam hatiku ketika mendengar pernyataan beliau. Aku sangat berharap ini menjadi titik tolak ditanamkannya pendidikan yang humanis di SMKN Batara dan sekolah-sekolah lain. Amiin……
KBM di kelas kadang menyenangkan kadang juga menjengkelkan. Menyenangkan ketika murid-murid terlihat ceria, aktif, rajin dan mudah faham dengan materi yang aku ajarkan. Menjengkelkan ketika mereka tidak mengerjakan tugas, pergi ke sekolah tidak mandi dan tidak bisa menjawab pertanyaan meski sudah diulang-ulang dan dijelaskan berkali-kali. Aku tidak mengerti apa penyebab utama mereka terkadang lemah secara akademik, apakah faktor gen, nutrisi, malas ataukah karena tidak ada perpustakaan. Tapi saya akui murid-murid di sini hebat untuk kegiatan ekstra seperti olahraga dan kerja kebun.
Suatu hari ketika awal asuk sekolah setelah liburan Paska, ada yang tidak beres di kelas, pagi-pagi murid-murid sibuk menyapu dan mengepel lantai ruang kelas. Kebetulan hari itu aku ada les Biologi jam pertama di kelas XI. Ketika masik kelas, hemmmmm…….. bau kambing……….. yaa meski mereka sudah membersihkannya tetapi bau itu masih cukup tajam sampai di indera penciumanku. Meski begitu, KBM tetap kami laksanakan. Ketidaknyamanan itu terjadi karena semua selot di pintu kelas sudah rusak. Kambing-kambing pun menjadi kreatif masuk ke ruang-rung kelas ketika pintu terbuka lebar tanpa seorang pun disana. Mungkin mereka penasaran ada apakah di dalam sana sehingga setiap hari ramai sekali hehe.
Ujian akhir semester genap tahun pelajaran 2013/2014 akan segera tiba. Di hari-hari terakhir masuk kelas aku memberi motivasi pada para siswa agar lebih rajin belajar sehingga bisa mendapatkan nilai yang bagus. Aku juga menjanjikan untuk memberi hadiah kepada yang mendapat nilai biologi tertinggi saat ujian akhir, sepertinya hal seperti itu belum pernah dilakukan oleh guru lain maupun pihak sekolah. Janji harus ku tepati, sebuah kamus Biologi aku berikan pada Frandrianus Sedu siswa kelas X Ruminansia yang memperoleh nilai 78. Smoga bermanfaat…….
Penempatan di Pulau Flores ini membawaku melancong ke tempat-tempat yang belum pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku bisa mengunjunginya. Danau Kelimutu di Kabupaten Ende yang sangat terkenal karena 3 warnanya yang unik dapat berubah-ubah. 17 pulau Riung yang sangat eksotik dengan keindahan pantai pasir putih, air sangat jernih, ombak yang tenang dan biota laut yang beraneka ragam. Pulau Komodo dengan penghuninya yang sangat terkenal ke penjuru dunia yaitu komodo. Kampung adat Bena dengan rumah-rumah adat dan kebudayaannya yang sangat kental.
Sungguh suatu anugrah aku bisa belajar, mengajar dan melancong di Ngada ini. Terimakasih SM-3T
Oleh Peserta SM-3T: Rina Astuti, Kab. Ngada – NTT, LPTK Universitas Negeri Yogyakarta